OPERASI FLAMBOYAN
"One Upon a Time of Blue Jean
Souldier"
Wrote by : Hendro Subroto
Kampanye militer terbuka belum dapat dilaksanakan sebagai akibat
belum adanya dukungan politik luar negeri. Hal itu menyebabkan Presiden Suharto
tidak berani mengambil resiko, sehingga mengatakan "Tunggu dulu. Akibat
kurangnya pengertian akan mengganggu arus bantuan dari IGGI."
Kebijaksanaan presiden itu dapat ditafsirkan bahwa ABRI tidak boleh masuk ke
Timor Portugis. Tetapi Mayjen Benny Moerdani memberanikan diri mengambil kebijaksanaan
lain dengan berkata, "Sebagai pelaksana yang baik kalau dilarang, ABRI
harus tetap melakukan kegiatan di Timor Portugis. Kalau nanti yang melarang
mengatakan boleh, sedangkan kita belum siap, kita dianggap sebagai pelaksana
yang jelek." Langkah selanjutnya Ketua G-1/intelijen Hankam mengambil
prakarsa segera melakukan peningkatan operasi non-phisik berupa operasi
penggalangan oleh Kokamko (Komando Kampanye Komodo) menjadi operasi phisik
yaitu berupa operasi sandiyudha terbatas (limited combat intelijen). Salah
satu dasar pertimbangan yang diambil ialah disebabkan Kokamko tidak memiliki
pasukan yang dapat digunakan untuk melakukan operasi phisik. Untuk mendukung
pelaksanaan operasi intelijen tempur terbatas, maka Mayjen Benny Moerdani
mendesak kepada Mayjen Sarwono, Asisten Keuangan, agar biaya operasi dapat
dikeluarkan selambat-lambatnya pada tanggal 27 Agustus 1975.
Dalam suatu rapat di G-1/Intelijen Hankam, Tebet, Mayjen Benny
Moerdani memanggil Kolonel Inf Dading Kalbuadi (44 tahun), Komandan Grup-2 Parako/Kopassandha,
di Magelang, ikut hadir. Rapat sengaja mengambil tempat di kantor G-1/Intelijen
Hankam di Tebet, karena rapat-rapat di Hankam Jl. Medan Merdeka Barat, sudah
diketahui oleh Australia. Dalam rapat itu Mayjen Benny Moerdani menunjuk
Kolonel Dading Kalbuadi memimpin operasi intelijen tempur dengan nama sandi
Operasi Flamboyan. Kolonel Dading adalah seorang mantan Tentara Pelajar dalam
perjuangan kemerdekaan 1945 yang kemudian menjadi anggota Korp Baret Merah.
Selain itu ia adalah seorang lulusan Sekolah Pasukan Khusus di Fort Benning,
Georgia, Amerika Serikat. Antara Mayjen Benny Moerdani dan Kolonel Dading
Kalbuadi keduanya telah bersahabat sejak tahun 1951, ketika mereka mengikuti
pendidikan militer di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di
Bandung, dan bertempur bersama-sama dalam penumpasan pemberontakan PRRI di
Sumatera pada tahun 1958. Dengan demikian antara keduanya terdapat rasa saling
percaya dan jalinan yang erat antara satu dengan yang lain.
Dalam melancarkan operasi intelijen tempur terbatas ke Timor
Timur, pasukan sandiyudha sebagai sukarelawan tidak dapat mengharapkan dukungan
resmi dari pemerintah, sehingga kedudukan mereka amat rawan. Disebabkan
sukarelawan beroperasi secara rahasia, maka mereka tidak dapat mengandalkan
dukungan perbekalan dan amunisi dari garis belakang secara terus menerus.
Pasukan sukarelawan yang melaksanakan tugas itu membutuhkan klasifikasi
tertentu. Sehubungan dengan tugas berat itu, Mayjen Benny Moerdani berkata,
"Ini mungkin one way ticket." Kolonel Dading menjawab, "Wis Ben,
ora opo-opo (Sudahlah Ben, tidak mengapa), saya kerjakan." Tak lama
kemudian Kolonel Dading menambahkan, "tapi tolong, titip keluarga saya,
kalau nanti saya tidak kembali." Mayjen Benny Moerdani menjawab,
"Jangan khawatir, aku nanti pegang semuanya kalau kamu sampai nggak ada
..."
Sejak bulan September 1975 Detasemen Tempur-2 Grup-1
Parako/Kopassandha di bawah pimpinan Mayor Inf Muhidin berkekuatan dua kompi
atau sekitar 250 orang, yaitu Kompi-A di bawah pimpinan Lettu Inf Marpaung dan
Kompi-B dibawah pimpinan Lettu Inf Kirbiantoro telah tiba di daerah perbatasan
Timor Timur. Penugasan Detasemen-2 di daerah perbatasan dipimpin oleh Mayor Inf
Kuntara, sebagai Wadan Grup-1. Pasukan pemukul Operasi Flamboyan terdiri dari
tiga tim, yaitu Tim Susi, Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing di bawah pimpinan
Kapten Inf Yunus Yusfiah, Mayor Inf Tarub, dan Mayor Inf Sofyan Effendi.
Mayjen TNI Yogie S.M., Danjen Kopassandha memberi nama sandi
Nanggala dalam setiap penugasan operasi intelijen tempur yang dilakukan oleh
Kopassandha. Misalnya Kopassandha Grup-4 yang diselundupkan dari kapal selam
kelas Whiskey ALRI di dekat Jayapura dalam perjuangan pembebasan Irian Barat
pada tahun 1962 dinamakan Nanggala 1, sedangkan Kopassandha Grup-4 yang bertugas
di Timor Timur atau Tim Susi diberi nama sandi Nanggala 2. Kekuatan Tim Susi
terdiri dari Karsayudha yang membawahi empat Prayudha. Komandan Tim Tuti
Nanggala 3 dan Tim Umi Nanggala 4 yang baru dibentuk, masing-masing dijabat
oleh Mayor Inf Tarub dan Mayor Inf Sofyan Effendi. Disebabkan kurangnya anggota
Kopassandha, maka Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing terdiri dari dua Prayudha
Kopassandha dan dua peleton Para Komando (Parako). Baik Detasemen-1 dan
Detasemen-2 pada Grup-1 bernama sandi Nanggala 5.
Pada tanggal 27 Agustus 1975 Tim Umi di bawah pimpinan Mayor Inf
Sofyan Effendi diberangkatkan ke Atambua dengan pesawat menuju ke Kupang,
kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Motaain lewat laut dengan menggunakan
kapal Bea & Cukai. Seluruh anggota mengenakan pakaian preman agar tidak
menarik perhatian. Kapten Inf Sutiyoso dan anak buahnya menyamar sebagai
mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Senjata dan amunisi dimasukkan
ke dalam karung yang dibubuhi dengan tulisan yang berbunyi alat pertanian. Tim
Susi di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah telah tiba di Kupang pada
tanggal 19 April 1975. Mereka juga mengenakan pakaian preman. Kegiatan yang
dilakukan ialah menyusup masuk ke Timor Portugis dalam kelompok-kelompok kecil
untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan. Tim Susi masuk
ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe dan Tim Umi di bawah Mayor Inf
Sofyan Effendi masuk ke Concelho Covalima, kemudian menyerang Tilomar dan
Kapten Sutiyoso menyerang Suai.
Disebabkan penyusupan hanya masuk ke sasaran di dekat perbatasan,
kemudian pimpinan Operasi Flamboyan merencanakan penyusupan yang jauh di daerah
pedalaman, yaitu ke suatu pegunungan di selatan Viquque. Tugas itu dipercayakan
kepada Kapten Sutiyoso. Suatu pagi ketika perahu bermotor yang ditumpangi
bersama anak buahnya sedang menyusur di daerah lepas pantai Viqueque, tiba-tiba
muncul helikopter Bolkow Pelita Air Service terbang rendah mendekatinya.
Perwira yang duduk di sebelah kanan penerbang memberikan isyarat dengan
menunjukkan tiga jari, menempelkan ketiga jari pada pundaknya, kemudian ia
menunjuk ke pantai. Kapten Sutiyoso mengerti bahwa isyarat itu berarti seorang
perwira yang berpangkat kapten diperintahkan naik ke darat. Perahu bermotor
segera merapat ke pantai. Setibanya di darat Kapten Sutiyoso diberitahu bahwa
perintah penyusupan ke daerah Viqueque dibatalkan. Dalam berbincang-bincang
dengan penulis beberapa waktu setelah pembatalan penyusupan ke Viqueque, Kapten
Sutiyoso mengatakan bahwa ia mungkin tidak dapat kembali setelah melakukan
penyerangan Viqueque yang terletak jauh dari basis. Tetapi sebagai seorang
prajurit, ia siap melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya.
The Blue Jeans Soldiers
Para pelaku limited combat intelligence tidak
berstatus sebagai anggota militer, tetapi mereka berstatus sebagai sukarelawan.
Dengan demikian anggota pasukan sandiyudha yang bertugas kebanyakan hanya
mengenakan kaos oblong dan celana blue jeans. Hal itulah yang menyebabkan
mereka dijuluki the blue jeans soldiers, sedangkan para pejuang
integrasi dari keempat partai dijuluki Partisan seperti
panggilan para pejuang Prancis pada masa pendudukan Jerman dalam Perang Dunia
II. Tenaga Bantuan Operasi (TBO) disebut Haiho, yaitu nama pasukan
pribumi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam struktur organisasi
Bala Tentara dai Nippon ketika menduduki Indonesia, sebenarnya Tenaga Bantuan
Operasi disebut To Bang.
Para awak pesawat militer dan awak pesawat sipil yang mendukung
operasi flamboyan juga berstatus sebagai sukarelawan. Penerbang militer yang
menerbangkan pesawat sipil dengan registrasi PK seperti Pelita Air Service atau
Dirgantara Air Service, biasanya mengenakan baju putih dan celana biru tua
seperti lazimnya awak pesawat komersial. Tetapi di samping kursi penerbang dan
mekanik terdapat senapan serbu G-3 atau AK-47. Awak pesawat TNI AU mengenakan
overall tanpa tanda pangkat maupun atribut kesatuan militer. Bahkan
kadang-kadang mereka hanya mengenakan pakaian preman. Dua pesawat pembom serbu
B-26 Invader dan dua AC-47 Gunship yang digunakan untuk operasi itu,
dihilangkan identitasnya di Lanud Penfui. Lambang segi lima, huruf yang
berbunyi TNI AU dan call sign pesawat dihapus dengan jalan menyemprot cat
berwarna putih. Pasukan Marinir mengenakan pakaian dinas lapangan secare
terbalik agar nama, pangkat, dan atribut militer tidak tampak.
Karsayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The B-Team dalam
Organisasi US Special Forces. Jika The B-Team berkekuatan 68 orang, yaitu
terdiri dari 20 orang staf markas dan empat A-Team masing-masing sebanyak 12
orang, maka Karsayudha Kopassandha berkekuatan 72 orang, yaitu 20 orang staf
markas dan empat Prayudha masing berkekuatan sebanyak 13 orang. Baik Komandan
Karsayudha maupun The B-Team dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat
Mayor.
Prayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The A-Team dalam
organisasi US Special Forces. Susunan Prayudha terdiri dari seorang Komandan
berpangkat Kapten, seorang Wakil Komandan, seorang Bintara Operasi, dua orang
Prajurit PHB, dua orang Prajurit Kesehatan, dua orang Prajurit
Intelijen/Territorial, dua orang prajurit Persenjataan, seorang Prajurit
Logistik, dan seorang Prajurit Zeni untuk demolisi. Seluruhnya berjumlah 13
orang.
Sumber :