Yang sederhana tapi cukup krusial dulu yang kita bahas. Gimana kalau Anak kecil yang dilahirkan oleh orang tua yang keduanya non-muslim, kemudian ia meninggal sebelum usia baligh, apakah di sisi Allah ia dianggap sebagai muslim ataukah tidak? Penting banget ya kita tahu. Jawabannya itu adalah: Pada dasarnya, setiap manusia dilahirkan bersih tanpa dosa, atau yang kita biasa kenal dengan ‘Fitrah’. Hal ini tentunya tanpa melihat status agama orang tuanya. Bayi orang-orang kafir itu di dunianya (sesuai hukum dunia) tetap kafir, walaupun pada akhirnya di akherat nanti akan masuk surga, menurut pendapat yang shahih.
Keterangan dari kitab:
Mughni al-Muhtaaj, II/424.
Mughni al-Muhtaaj, juz II hal 424: Banyak pendapat yang
saling berbeda mengenai anak-anak orang kafir yang mati sebelum mengucapkan Islam.Menurut pendapat yang ashah/lebih shahih, mereka akan masuk surga, karena setiap bayi itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci dan dosa).
Itu kalau konteks nya bayi, Kalau yg sudah agak besar?
Gini, Islam memberikan mekanisme taklif dalam setiap ketentuan hukumnya, karena pada dasarnya Islam adalah agama yang mudah. Taklif dalam wacana Islam adalah kriteria minimal seseorang dianggap qualifikatif untuk menjalankan syariat dan hukum-hukum Islam. Taklif ini mempunyai 2 dimensi akil-baligh dan tamyiz (bisa membedakan salah dan benar).
Rasulullah bersabda,
"Ada 3 orang yang tidak dibebani kewajiban, anak kecil hingga ia baligh, orang tidur hingga ia bangun, dan orang gila hingga ia sadar".
Al-Quran juga mengatakan, "Orang tidak menanggung dosa orang lain".
Kaitannya apa ya sama taklif? Nah, anak kecil tanpa melihat status agama orang tuanya belum terkena kewajiban apa-apa, sehingga diapun tidak bisa disebut berdosa atau berpahala karena segala amalannya belum masuk ke rekening amalnya. Terus bagaimana bisa menghukumi dia masuk surga atau neraka sementara ‘rapor’ amalnya masih bersih tidak ada coretan? Catatan rapor orang tuanya tidak bisa mempengaruhi nilai amalannya. Sebab Islam tidak mengenal dosa turunan, sehingga anak kecil ini pun tidak bisa ditanggungkan dosa kekafiran orang tuanya, meski ia sendiri terlahir kafir.
Terus proses penguburannya? Ya , Jika anak tersebut belum mukallaf (terkena beban syariat), dan kedua orang tuanya non muslim (kafir), maka hukumnya sebagaimana yang berlaku bagi orang tuanya. Yaitu karena non muslim pasti tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Kemudian, anak kecil ini di akhiratnya bagaimana? Kembalikan kepada kehendak Allah Ta’ala aja deh. Persoalan ini sudah menjadi ‘wewenang’ Allah soalnya. Kita hanya bisa menghukumi secara dhahir. Begitu pesan syariat.
Nah, terus kalo nge doa in Orang tua yang non muslim? Begini. Islam tetap memerintahkan seorang anak berbakti kepada orang tuanya didalam urusan-urusan yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah swt walaupun dia bukanlah seorang muslim, sebagaimana firman-Nya :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31] : 15)
Jika kedua Orang Tua masih hidup. Di keadaan orang tua yang belum memeluk islam maka diwajibkan bagi anaknya yang telah memeluk islam untuk menyeru dan mengajaknya kepada islam dengan cara yang bijaksana tanpa harus memaksanya. Untuk selanjutnya menyerahkan hasil dakwahnya itu kepada kehendak Allah swt.
Nah kalau selagi dakwah terus Orang Tua kita meninggal? Apa ya, yang kita lakukan? Begini, maksud dari menyerahkan dakwah kepada Allah Swt itu adalah Apa saja hal hal yang kita lakukan terhadap Orang Tua kita meskipun pada akhirnya salah satu dari mereka meninggal dunia tanpa penah mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan keislamannya, semoga menjadi hujjah (bukti) dihadapan Allah swt atas dakwah kita terhadap mereka dan mendapatkan ganjaran pahala dari-Nya.
Nah jika tentang berdoa memohonkan ampunan atau keringanan siksaan kepada Allah terhadap orang tua yang meninggal dunia? Kita harus berdasarkan firman Allah swt :
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum Kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah [9] : 113)
Sedangkan secara khusus terhadap ibu kita yang masih hidup dan belum memeluk islam makahendaklah anda tidak berputus asa untuk tetap mengajaknya kepada islam. Dibolehkan bagi anda dalam upaya ini berdoa kepada Allah swt agar dibukakan hatinya kepada islam, sebagaimana disebutkan didalam kisah Musa, as :
“Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhamnu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dan pada Kami, pasti Kami akan beriman kepadamu dan akan Kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu”. Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. Kemudian Kami menghukum mereka, Maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu.” (QS. Al-A’raf [7] : 134 – 136)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata bahwa Thufail bin ‘Amr ad Dausiy—Thufail bin ‘Amr (ad Dausiy) mendatangi Nabi saw— dan berkata,
”Sesungguhnya (orang-orang) Daus telah celaka, maksiat dan enggan maka berdoalah kepada Allah untuk mereka.’ Lalu beliau saw bersabda,’Wahai Allah berilah petunjuk kepada (orang-orang) Daus dan berangkatlah kamu menemui mereka.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Gampangnya gini. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seseorang berdoa bagi kedua orang tuanya yang masih kafir serta memintakan ampunan bagi mereka selama keduanya masih hidup. Adapun apabila orang itu telah meninggal maka terputuslah harapan itu semua darinya dan tidaklah diperbolehkan memohon ampunan baginya.
Ibnu Abbas berkata bahwa mereka dahulu memintakan ampunan kepada orang-orang yang telah meninggal dari mereka (orang-orang musyrik) lalu turunlah ayat ini (At taubah : 113) dan mereka pun menghentikan permohonan ampun itu namun mereka tidak dilarang dari memohon ampunan bagi mereka yang masih hidup hingga mereka meninggal dunia. (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid IV hal 587 - 588)
Sekarang bahsan nya lain lagi nih. Gimana hukumnya waris mewaris nya? Jikalau anaknya yang non-Muslim, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari orang tua yang Muslim. Sabda Rasulullah SAW,
“Orang Muslim tidak mewariskan orang kafir dan orang kafir tidak mewariskan orang Muslim.” ( HR Bukhari, 6267 ).
Namun, anak non-Muslim boleh mendapat hadiah dengan disertai targhib ( harapan ) supaya anak non-Muslim itu dapat kembali lagi kepada Islam.
Kalo Orang tuanya yang non-muslim?
Ada dua pendapat berkaitan dengan warisan kepada dan dari Muslim – non muslim:
Pendapat yang Tidak Membolehkan
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris dari ayahnya, akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam.
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Pendapat yang Membolehkan
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Al-Islam ya’lu walaayu’la ‘alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan, “Seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim.” Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lainnya.
Sekarang kita bahas mengenai pernikahan. Wih ternyata dari tadi Seru ya bahasannya …
Kalo laki laki. Ya gak kasih tahu Orang Tua juga gpp. Tapi kalo perempuan? Atau calon istri nya ayahnya Non-Muslim?
Nah, gini di budaya timur yang kita kenal, sebaiknya kalau ada rencana melamar calon isteri itu tidak sendiri, tetapi disertai oleh wali atau keluarganya. Biasanya keluarga yang ditokohkan akan menjadi juru bicara dan mewakili calon pengantin pria untuk melamar pihak wanita. Hal ini mengandung banyak hikmah. Di kesankan bahwa keputusan menikah itu menjadi keputusan yang direstui keluarga besar Anda.
Kita musti mengerti. Pernikahan juga tidak hanya melibatkan kita saja, tetapi dia juga melibatkan antara dua keluarga besar, sehingga wajar kalau mereka dilibatkan sejak sekarang.
Nah kalau Orang tuanya pihak wanita Non Muslim? Wali nikah nya gimana? Mengenai masalah wali nikah, karena calon mertua non muslim, maka syariat mengisyaratkan hal seperti ini:
Keharusan untuk menjadi wali nikah yang utama adalahberagama Islam. Dan itu menjadi syarat sah yang harus dimiliki oleh seorang wali. Perlu diketahui bahwa syarat seorang wali itu ada 6 hal:
- Muslim
- Berakal
- Baligh
- Adil
- Merdeka
- Laki-laki
Bila salah satu syarat dari keenam syarat itu tidak terpenuhi, maka seseorang tidak berhak untuk menjadi wali atas sebuah akad nikah.
Sebenarnya orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah kandung, kemudian kakek dari fihak ayah dan seterusnya ke atas. Apabila semuanya tak ada, atau ada uzur, maka dapat dilakukan oleh saudara (kakak atau adik) kandung. Berikutnya paman (saudara ayah). Dan bila semuanya ternyata beragama non Islam, maka perwalian dapat dipindah ke wali hakim. Kita dapat merundingkannya dengan pihak KUA yang akan membantu pernikahan Kita.
Nah, semoga bermanfaat ya. Semoga Allah Swt selalu mengiringi langkah kita. Salam.
Sumber:
Konsultasi Agama, Republika, Kamis, 27 Januari 2011 / 22 Shafar 1432
Penulis :Al Allamah Ibnu Qayyim rahimahullah : Kitab Thariqul Hijratain pada bab Thabaqat Al Mukallafin