April 11, 2013

Catatan Sejarah Serdadu Operasi Seroja Yang Hampir Terlupakan Part 5


OPERASI FLAMBOYAN
"One Upon a Time of Blue Jean Souldier"
Wrote by :  Hendro Subroto

Kampanye militer terbuka belum dapat dilaksanakan sebagai akibat belum adanya dukungan politik luar negeri. Hal itu menyebabkan Presiden Suharto tidak berani mengambil resiko, sehingga mengatakan "Tunggu dulu. Akibat kurangnya pengertian akan mengganggu arus bantuan dari IGGI." Kebijaksanaan presiden itu dapat ditafsirkan bahwa ABRI tidak boleh masuk ke Timor Portugis. Tetapi Mayjen Benny Moerdani memberanikan diri mengambil kebijaksanaan lain dengan berkata, "Sebagai pelaksana yang baik kalau dilarang, ABRI harus tetap melakukan kegiatan di Timor Portugis. Kalau nanti yang melarang mengatakan boleh, sedangkan kita belum siap, kita dianggap sebagai pelaksana yang jelek." Langkah selanjutnya Ketua G-1/intelijen Hankam mengambil prakarsa segera melakukan peningkatan operasi non-phisik berupa operasi penggalangan oleh Kokamko (Komando Kampanye Komodo) menjadi operasi phisik yaitu berupa operasi sandiyudha terbatas (limited combat intelijen). Salah satu dasar pertimbangan yang diambil ialah disebabkan Kokamko tidak memiliki pasukan yang dapat digunakan untuk melakukan operasi phisik. Untuk mendukung pelaksanaan operasi intelijen tempur terbatas, maka Mayjen Benny Moerdani mendesak kepada Mayjen Sarwono, Asisten Keuangan, agar biaya operasi dapat dikeluarkan selambat-lambatnya pada tanggal 27 Agustus 1975.

Dalam suatu rapat di G-1/Intelijen Hankam, Tebet, Mayjen Benny Moerdani memanggil Kolonel Inf Dading Kalbuadi (44 tahun), Komandan Grup-2 Parako/Kopassandha, di Magelang, ikut hadir. Rapat sengaja mengambil tempat di kantor G-1/Intelijen Hankam di Tebet, karena rapat-rapat di Hankam Jl. Medan Merdeka Barat, sudah diketahui oleh Australia. Dalam rapat itu Mayjen Benny Moerdani menunjuk Kolonel Dading Kalbuadi memimpin operasi intelijen tempur dengan nama sandi Operasi Flamboyan. Kolonel Dading adalah seorang mantan Tentara Pelajar dalam perjuangan kemerdekaan 1945 yang kemudian menjadi anggota Korp Baret Merah. Selain itu ia adalah seorang lulusan Sekolah Pasukan Khusus di Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat. Antara Mayjen Benny Moerdani dan Kolonel Dading Kalbuadi keduanya telah bersahabat sejak tahun 1951, ketika mereka mengikuti pendidikan militer di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di Bandung, dan bertempur bersama-sama dalam penumpasan pemberontakan PRRI di Sumatera pada tahun 1958. Dengan demikian antara keduanya terdapat rasa saling percaya dan jalinan yang erat antara satu dengan yang lain.

Dalam melancarkan operasi intelijen tempur terbatas ke Timor Timur, pasukan sandiyudha sebagai sukarelawan tidak dapat mengharapkan dukungan resmi dari pemerintah, sehingga kedudukan mereka amat rawan. Disebabkan sukarelawan beroperasi secara rahasia, maka mereka tidak dapat mengandalkan dukungan perbekalan dan amunisi dari garis belakang secara terus menerus. Pasukan sukarelawan yang melaksanakan tugas itu membutuhkan klasifikasi tertentu. Sehubungan dengan tugas berat itu, Mayjen Benny Moerdani berkata, "Ini mungkin one way ticket." Kolonel Dading menjawab, "Wis Ben, ora opo-opo (Sudahlah Ben, tidak mengapa), saya kerjakan." Tak lama kemudian Kolonel Dading menambahkan, "tapi tolong, titip keluarga saya, kalau nanti saya tidak kembali." Mayjen Benny Moerdani menjawab, "Jangan khawatir, aku nanti pegang semuanya kalau kamu sampai nggak ada ..."

Sejak bulan September 1975 Detasemen Tempur-2 Grup-1 Parako/Kopassandha di bawah pimpinan Mayor Inf Muhidin berkekuatan dua kompi atau sekitar 250 orang, yaitu Kompi-A di bawah pimpinan Lettu Inf Marpaung dan Kompi-B dibawah pimpinan Lettu Inf Kirbiantoro telah tiba di daerah perbatasan Timor Timur. Penugasan Detasemen-2 di daerah perbatasan dipimpin oleh Mayor Inf Kuntara, sebagai Wadan Grup-1. Pasukan pemukul Operasi Flamboyan terdiri dari tiga tim, yaitu Tim Susi, Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah, Mayor Inf Tarub, dan Mayor Inf Sofyan Effendi.

Mayjen TNI Yogie S.M., Danjen Kopassandha memberi nama sandi Nanggala dalam setiap penugasan operasi intelijen tempur yang dilakukan oleh Kopassandha. Misalnya Kopassandha Grup-4 yang diselundupkan dari kapal selam kelas Whiskey ALRI di dekat Jayapura dalam perjuangan pembebasan Irian Barat pada tahun 1962 dinamakan Nanggala 1, sedangkan Kopassandha Grup-4 yang bertugas di Timor Timur atau Tim Susi diberi nama sandi Nanggala 2. Kekuatan Tim Susi terdiri dari Karsayudha yang membawahi empat Prayudha. Komandan Tim Tuti Nanggala 3 dan Tim Umi Nanggala 4 yang baru dibentuk, masing-masing dijabat oleh Mayor Inf Tarub dan Mayor Inf Sofyan Effendi. Disebabkan kurangnya anggota Kopassandha, maka Tim Tuti dan Tim Umi masing-masing terdiri dari dua Prayudha Kopassandha dan dua peleton Para Komando (Parako). Baik Detasemen-1 dan Detasemen-2 pada Grup-1 bernama sandi Nanggala 5.

Pada tanggal 27 Agustus 1975 Tim Umi di bawah pimpinan Mayor Inf Sofyan Effendi diberangkatkan ke Atambua dengan pesawat menuju ke Kupang, kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Motaain lewat laut dengan menggunakan kapal Bea & Cukai. Seluruh anggota mengenakan pakaian preman agar tidak menarik perhatian. Kapten Inf Sutiyoso dan anak buahnya menyamar sebagai mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Nyata (KKN). Senjata dan amunisi dimasukkan ke dalam karung yang dibubuhi dengan tulisan yang berbunyi alat pertanian. Tim Susi di bawah pimpinan Kapten Inf Yunus Yusfiah telah tiba di Kupang pada tanggal 19 April 1975. Mereka juga mengenakan pakaian preman. Kegiatan yang dilakukan ialah menyusup masuk ke Timor Portugis dalam kelompok-kelompok kecil untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan. Tim Susi masuk ke Maliana di Concelho Bobonaro sampai ke Atsabe dan Tim Umi di bawah Mayor Inf Sofyan Effendi masuk ke Concelho Covalima, kemudian menyerang Tilomar dan Kapten Sutiyoso menyerang Suai.

Disebabkan penyusupan hanya masuk ke sasaran di dekat perbatasan, kemudian pimpinan Operasi Flamboyan merencanakan penyusupan yang jauh di daerah pedalaman, yaitu ke suatu pegunungan di selatan Viquque. Tugas itu dipercayakan kepada Kapten Sutiyoso. Suatu pagi ketika perahu bermotor yang ditumpangi bersama anak buahnya sedang menyusur di daerah lepas pantai Viqueque, tiba-tiba muncul helikopter Bolkow Pelita Air Service terbang rendah mendekatinya. Perwira yang duduk di sebelah kanan penerbang memberikan isyarat dengan menunjukkan tiga jari, menempelkan ketiga jari pada pundaknya, kemudian ia menunjuk ke pantai. Kapten Sutiyoso mengerti bahwa isyarat itu berarti seorang perwira yang berpangkat kapten diperintahkan naik ke darat. Perahu bermotor segera merapat ke pantai. Setibanya di darat Kapten Sutiyoso diberitahu bahwa perintah penyusupan ke daerah Viqueque dibatalkan. Dalam berbincang-bincang dengan penulis beberapa waktu setelah pembatalan penyusupan ke Viqueque, Kapten Sutiyoso mengatakan bahwa ia mungkin tidak dapat kembali setelah melakukan penyerangan Viqueque yang terletak jauh dari basis. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia siap melaksanakan tugas itu sebaik-baiknya.

The Blue Jeans Soldiers

Para pelaku limited combat intelligence tidak berstatus sebagai anggota militer, tetapi mereka berstatus sebagai sukarelawan. Dengan demikian anggota pasukan sandiyudha yang bertugas kebanyakan hanya mengenakan kaos oblong dan celana blue jeans. Hal itulah yang menyebabkan mereka dijuluki the blue jeans soldiers, sedangkan para pejuang integrasi dari keempat partai dijuluki Partisan seperti panggilan para pejuang Prancis pada masa pendudukan Jerman dalam Perang Dunia II. Tenaga Bantuan Operasi (TBO) disebut Haiho, yaitu nama pasukan pribumi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam struktur organisasi Bala Tentara dai Nippon ketika menduduki Indonesia, sebenarnya Tenaga Bantuan Operasi disebut To Bang.

Para awak pesawat militer dan awak pesawat sipil yang mendukung operasi flamboyan juga berstatus sebagai sukarelawan. Penerbang militer yang menerbangkan pesawat sipil dengan registrasi PK seperti Pelita Air Service atau Dirgantara Air Service, biasanya mengenakan baju putih dan celana biru tua seperti lazimnya awak pesawat komersial. Tetapi di samping kursi penerbang dan mekanik terdapat senapan serbu G-3 atau AK-47. Awak pesawat TNI AU mengenakan overall tanpa tanda pangkat maupun atribut kesatuan militer. Bahkan kadang-kadang mereka hanya mengenakan pakaian preman. Dua pesawat pembom serbu B-26 Invader dan dua AC-47 Gunship yang digunakan untuk operasi itu, dihilangkan identitasnya di Lanud Penfui. Lambang segi lima, huruf yang berbunyi TNI AU dan call sign pesawat dihapus dengan jalan menyemprot cat berwarna putih. Pasukan Marinir mengenakan pakaian dinas lapangan secare terbalik agar nama, pangkat, dan atribut militer tidak tampak. 

Karsayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The B-Team dalam Organisasi US Special Forces. Jika The B-Team berkekuatan 68 orang, yaitu terdiri dari 20 orang staf markas dan empat A-Team masing-masing sebanyak 12 orang, maka Karsayudha Kopassandha berkekuatan 72 orang, yaitu 20 orang staf markas dan empat Prayudha masing berkekuatan sebanyak 13 orang. Baik Komandan Karsayudha maupun The B-Team dipimpin oleh seorang perwira menengah berpangkat Mayor.

Prayudha Kopassandha dapat disejajarkan dengan The A-Team dalam organisasi US Special Forces. Susunan Prayudha terdiri dari seorang Komandan berpangkat Kapten, seorang Wakil Komandan, seorang Bintara Operasi, dua orang Prajurit PHB, dua orang Prajurit Kesehatan, dua orang Prajurit Intelijen/Territorial, dua orang prajurit Persenjataan, seorang Prajurit Logistik, dan seorang Prajurit Zeni untuk demolisi. Seluruhnya berjumlah 13 orang.
Sumber :

Catatan Sejarah Serdadu Operasi Seroja Yang Hampir Terlupakan Part 4

OPERASI SEROJA - TIMOR TIMUR 
"One Upon a Time of Blue Jean Souldier"
Kesatuan Baret Merah yang dibentuk pada 16 April 1952 sudah kesekian kalinya berganti-ganti nama. Diantaranya nama legendaris RPKAD atau Resimen Para Komando Angkatan Darat hingga Kopassandha alias Komando Pasukan Sandhi Yudha. Almarhum papa saya baru bertugas di Baret Merah sewaktu namanya masih Puspassus AD atau Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat sebelum berganti menjadi Kopassandha.
Pada periode 1980an, guna memenuhi hakekat ancaman dan gangguan serta tantangan yang ada, kesatuan ini memiliki Grup Parako atau Para Komando dan Grup Sandi Yudha alias Sandha. Dalam sebuah Grup Parako saat itu bermaterikan 3 (tiga) Detasemen Tempur atau Denpur. 1 (satu) Denpur terdiri dari 3 Kompi dan 1 Kompi terdiri dari 3 Peleton (Denpur 12~ Kompi 111, Kompi 112 dan Kompi 113). Sedangkan di Grup Sandha atau Sandhi Yudha terdiri dari Karsa Yudha dibawahnya menggunakan istilah Prayudha. Saat ini di Kopassus menggunakan istilah Batalyon, contoh Grup 1 Batalyon 11,12 atau Grup 2 berarti Batalyon 21,22 dan begitu seterusnya kecuali Satuan Penanggulangan Teror atau Gultor. Meskipun sama-sama memiliki kualifikasi Komando namun tugas Grup Parako dan Grup Sandha berbeda satu dengan lainnya. Satu hal yang pasti seorang anggota Baret Merah mesti melewati masa tugasnya beberapa tahun berikut memiliki riwayat penugasan di Grup Parako lebih dahulu baru kemudian anggota tersebut dapat bergabung di Grup Sandha.
Guna mengetahui secara sederhana perbedaan antara Grup Parako dengan Grup Sandha, kita dapat mengambil contoh saat ”infiltrasi” yang dilakukan pasukan ini ke Timor Portugis di tahun 1975. Sebelum digelar Operasi Gabungan besar-besaran dari darat laut dan udara untuk merebut Kota Dili, Minggu 7 Desember 1975, Kopassandha telah mengirimkan setidaknya 3 Team Khusus yang dipersiapkan dalam rangka perebutan Dili. Kesuksesan yang diperoleh Team Susi Umi dan Tuti tak diikuti dengan mulus oleh operasi selanjutnya. Menurut almarhum Jenderal Purnawirawan Benny Moerdani dalam bukunya, operasi gabungan ini masih memiliki banyak kelemahan. Hal itu dikarenakan oleh ketiadaan pengalaman dari TNI untuk melaksanakan Operasi Gabungan sebelumnya. Konsekuensi ketidaksiapan pasukan mengakibatkan banyaknya pasukan TNI yang gugur termasuk prajurit dengan pangkat Mayor dan Kapten. Operasi gabungan Lintas Udara dengan inti kekuatan dari Grup 1 Kopassandha dan Batalyon 507 Kostrad Jawa Timur ini memakan korban cukup besar
Sifat dari operasi Sandha yang dilakukan itu sendiri juga memiliki kekhususan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi dan tentunya sasaran yang diberikan memiliki dampak buat operasi selanjutnya.
Berbicara mengenai Operasi Seroja di Timor Portugis, seperti diketik diatas bahwa jauh sebelum operasi itu dimulai, Kopassandha ketika itu setidaknya telah menurunkan 3 Team dari Grup Sandha yakni : Team Susi Team Umi dan Team Tuti. Team Susi yang dikomandani oleh Kapten Yunus Yosfiah ini berganggotakan 100 orang. Mereka mayoritas bertugas di Grup 4 Kopassandha. Para prajurit ini tergabung dalam 4 Prayudha dengan masing-masing 20 anggota dipimpin seorang perwira belum termasuk anggota lainnya pada tingkat Mako. Ke-100 orang anggota Kopassandha ini mulai mempersiapkan diri sekitar Oktober 1974. Team Susi yang dalam masa persiapan masuk pada Karsa Yudha “Siaga“ akhirnya diberangkatkan ke daerah operasi mulai 29 April 1975 hingga 9 Nopember 1975. Karsa Yudha yang berangkat tugas operasi Pra Seroja ini tergabung dalam gugus tugas Nanggala 2 dimana sebelumnya selain latihan militer diberikan juga buat mereka pelajaran Bahasa dan Budaya Timor Portugis.
Namanya juga pasukan Sandha, ke-100 anggota Nanggala 2 ini masing-masing memiliki nama samaran sendiri-sendiri. Ambil contoh almarhum papa saya tempo itu diberikan nama Yosep Fernandez atau biasa ditulis Ama Yosep pada tiap surat yang dikirim papa ke mama di Cijantung. Dalam tugas penyamaran beliau “mengaku“ bekerja sebagai Mandor Jalan sehingga banyak sekali catatan berupa tulisan tangan yang ditinggalkan hingga kini masih tersimpan.
Team Nanggala 2 ini sepanjang penugasan di Timor Portugis dikenal juga sebagai The Blue Jeans Soldiers. Alasan kenapa mereka dijuluki seperti itu tak lain dan tak bukan disebabkan oleh pakaian yang dikenakan prajurit Komando ini semua dari bahan blue jins. Tak satupun anggota Team Susi ini menggunakan atribut pasukan Baret Merah. Selama di medan perang mereka menggunakan pakaian sipil dengan seledang kain Timor menutupi tubuhnya. Kebanyakan dari prajurit itu juga mengenakan Topi yang memiliki kekhasan Timor.
Setiap Prajurit Kopassandha yang tergabung dalam Team Susi pada waktu itu ”sengaja” menggunakan senjata non organik TNI yaitu AK 47. Dalam berbagai pertempuran sepanjang tugas operasi di Timor Portugis selain AK 47 anggota Nanggola 2 juga menggunakan RL atau Rocket Launcher. Penggunaan AK 47 adalah untuk menyamarkan tugas mereka selaku Sukarelawan dalam rangka membantu Partai Apodeti, UDT, KOTA dan Partai Trabalista yang menginginkan rakyat Timor Portugis bergabung dengan Indonesia. Keempat partai pendukung integrasi Timor Timur dengan Indonesia kemudian membuat sebuah aksi disebut Deklarasi Balibo untuk menandingi pernyataan kemerdekaan yang secara sepihak dicetuskan oleh Fretilin.
Keinginan Rakyat Timor Portugis untuk bergabung dengan Indonesia dilandasi oleh kesengsaraan dan kekejaman penjajahan Portugis melalui Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor Lesta Independence) yang saat itu sedang berkuasa.
Para Prajurit TNI dari kesatuan Baret Merah sewaktu melakukan gerakan di daerah operasi memiliki tugas untuk mempertahankan kantong-kantong gerilya yang masih dikuasai Apodeti sehingga secara politik Apodeti masih memiliki suara dalam forum internasional di PBB. Dan perjuangan para sukarelawan pro integrasi menjadi bukti kuat bagi Timor Portugis untuk bergabung dengan Indonesia melalui Deklarasi Balibo yang telah disepakati oleh 4 tokoh utama Partai Apodeti, UDT, Kota dan Trabalista.
The Blue Jeans Soldiers berintikan sepasukan prajurit Baret Merah setidaknya pernah membantu rakyat Timor Timur pada masanya. Apapun dan bagaimanapun kini situasinya The Blue Jeans Soldiers namamu senatiasa tercetak dengan tinta emas. Peran mereka senantiasa melekat dihati. Kaulah pahlawan Seroja sesungguhnya.

Catatan Sejarah Serdadu Operasi Seroja Yang Hampir Terlupakan Part 3

OPERASI SEROJA - TIMOR TIMUR 
"One Upon a Time of Blue Jean Souldier"

Timor Timur mempunyai 1001 kisah. Tapi sepertinya Operasi Seroja menjadi cerita yang paling berwarna. Bukan hanya bagi para pelaku operasi militer itu dan keluarganya saja, atau bagi para korban. Tapi bagi seluruh masyarakat Timtim. Bagaimana tidak? Karena keberhasilan Operasi Seroja, Timtim masuk menjadi bagian dari wilayah NKRI selama 23 tahun. Suatu babak baru dalam kehidupan warga Timor Timur setelah bertahun-tahun ada di bawah dominasi Portugal.

Dari sisi pelaku Operasi Seroja dan keluarganya, kesuksesan operasi berhasil mencuatkan nama, pangkat, dan karier militer. Tapi Operasi Seroja juga membuat keluarga pelaku pedih menderita. Banyak keluarga yang ditinggal mati ayah, suami, kakak, adik, dsb. Atau keluarga harus menanggung kecacatan mantan pejuang Seroja seumur hidup. Kisah Operasi Seroja, benar-benar menjadi kisah yang hidup. 

Ayah teman karib saya, yang juga mantan pejuang Seroja amat suka bercerita tentang pengalamannya menjalankan tugas operasi Seroja di Timtim. Almarhum yang rajin membuat catatan-catatan kecil itu, bangga dengan tugas yang dipikulnya, meski taruhannya nyawa. Para pejuang Seroja begitu ikhlas menjalankan operasi sebagai bagian dari tugas abdi negara. 

Kisah itu berawal dari persiapan pleton I Kompi MORBE 120 detasemen bantuan tempur Brigif II KTD-AD yang akan berangkat melaksanakan tugas Operasi Seroja di Timor Timur. 

Selasa, 7 Oktober 1975, pasukan berangkat dengan menggunakan KRI Wakolo dan KRI Nuburi. Perjalanan laut itu memakan waktu tujuh hari. Akhirnya perjalanan laut yang membosankan pun berujung di pelabuhan Atapupu, Atambua, NTT. Sambil mempersiapkan segala sesuatunya, pasukan diberi kesempatan beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kondisi. Menjelang operasi dilakukan, berbagai hal yang berkaitan dengan militer ditanggalkan. Kecuali senjata. Pasukan bergerak sebagai relawan berkostum jeans. Waktu itu, "pasukan relawan" ini sering disebut sebagai The Blue Jeans Soldier

Sasaran utama operasi adalah merebut dan menduduki kota-kota dan objek-objek penting yang dikuasai Fretilin. Maliana sampai Bobonaro dan Benteng Batugade menjadi target operasi perdana. Khusus untuk penyerangan Benteng Batugade diserahkan kepada pasukan Marinir AL. Sementara penyerangan dari Maliana hingga Bobonaro ditangani Yonif 507 dan Yonif 527. 

Operasi berjalan lancar. November 1975, benteng Balibo dapat direbut dan dikuasai pasukan Kopassanda. Sasaran berikut adalah markas kavaleri Fretilin di Atsabai. Pertempuran seru terjadi di sini. Korban berjatuhan dari masing-masing pihak. Namun, markas kavaleri Fretilin berhasil direbut dan dikuasai. 

Catatan tentang pertempuran seru hampir tak pernah terlewatkan. Salah satunya, pertempuran seru antara pasukan infantri ABRI dengan Fretilin yang terjadi di Suai, dua hari setelah Natal, Sabtu, 27 Desember 1975. 

Pertempuran lainnya yang juga seru, terjadi saat menyerbu Baucau. Penyerbuan selama 11 hari itu, 18 hingga 29 September 1976, cukup menghabiskan energi kedua belah pihak. Sebagian pasukan untuk penyerbuan Baucau diangkut menggunakan KRI Teluk Langsa. Tank-tank amfibi Marinir mendarat di pelabuhan Laga mengepung dari sudut-sudut pantai. Infiltrasi ke kota Baucau inilah yang menjadi ajang pertempuran dahsyat. Setelah pelabuhan dan Kota Baucau dapat dikuasai, maka penyerangan dilanjutkan untuk merebut bandara udara Baucau. Akhirnya kota perdagangan Baucau berhasil dikuasai ABRI. Sementara tentara Fretilin yang tersisa lari ke hutan-hutan dan pegunungan di luar kota Baucau. 

Ibukota Dili di awal Februari 1976 telah berhasil direbut dan dikuasai ABRI tapi tidak berarti kota lain dengan mudah ditundukkan. Letupan-letupan kecil masih terjadi di mana-mana. Kota besar terakhir yang berhasil dikuasai ABRI adalah Los Palos. Pertempuran besar terakhir, 1978 yang dramatis. Berhari-hari Los Palos yang merupakan basis Fretilin itu dikepung. Dalam pertempuran terakhir itu, Fretilin mengalami kekalahan telak. Sekitar 3.000 tentara Fretilin berhasil ditawan. Banyaknya korban warga sipil yang tewas, merupakan akibat dari strategi tentara Fretilin yang menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup. Jatuhnya Los Palos, seolah menjadi pertanda selesainya Operasi Seroja. 

Sayang, sang pelaku sejarah itu telah meninggal empat tahun lalu. Namun, catatan-catatan kecilnya sangat membantu kita mengetahui gambaran peristiwa saat itu.

Operasi Seroja mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Sugama, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari Operasi Militer bersandi Seroja itu. Sebenarnya masih ada lagi, intelijen yang pertama kali masuk wilayah Timtim 1974, Aloysius Sugianto. Nama tokoh terakhir ini, nyaris tak pernah disebut-sebut. Padahal andilnya sangat besar, ketika melakukan operasi Komodo. Sebuah operasi khusus intelijen yang mengedepankan pendekatan sosio-politis, sebelum dilakukan operasi militer Seroja. 

Banyak prajurit berperanan penting dalam operasi militer Seroja 1975-1978 itu. Namun mereka nyaris 'tak dikenal' dan 'tak dikenang'. Karena mereka hanyalah 'prajurit biasa' bukanlah komandan. Tapi keterlibatannya dalam upaya menyatukan Timtim masuk dalam NKRI tak bisa dianggap tiada. 

Amir Siregar dulu ikut berjuang juga di Timtim. Aktivitasnya kini, lebih banyak berkubang dengan urusan koperasi. Hari-harinya diisi dengan mengurusi koperasi veteran penyandang cacat. Amir Siregar bukanlah orang biasa. Pria tegap yang kini telah berumur 64 tahun itu, lulusan AKABRI angkatan 1968. Selama dua tahun, sejak 1975 hingga 1977, Amir ditugaskan di Timor Timur untuk menumpas kelompok Fretilin. Tahun 1978, Amir kembali berangkat ke Timtim untuk tugas yang kurang lebih sama. 

Ketika bincang-bincang dengan Liputan6.com, Amir mengungkapkan betapa perhatian pemerintah terhadap para veteran Seroja sangat kurang. Perjuangan para prajurit dalam operasi Seroja yang dilakukan dalam menunaikan tugas negara, tak lagi mendapat tempat di hati para prajurit muda seperti sekarang ini. "Kondisi ini sangat disayangkan!" katanya, di sela-sela persiapannya menuju masjid untuk melakukan salat Tarawih, Senin (31/8) malam. 

Amir Siregar yang dulu bergabung dengan batalyon Kostrad brigif 18 Malang itu menyesalkan kejadian pembakaran lencana satya, penghargaan dari negara. Peristiwa yang terjadi 2002 silam itu, tidak semestinya dilakukan oleh para veteran, meski sangat kecewa terhadap pemerintah. 

Peristiwa pembakaran lencana setya itu dilakukan para veteran, Minggu (19/5/2002) malam pukul 22.00, saat acara perenungan keprihatinan di kompleks veteran Seroja Bekasi. Peristiwa itu disaksikan para veteran Seroja, keluarga, dan warakawuri janda-janda veteran. "Mereka tidak dendam pada pemerintah, tapi kecewa!" kata Amir. 

Menurut Amir, bukan soal besaran tunjangan yang diberikan tiap bulan sekitar 250-300 ribu rupiah atau tunjangan bagi veteran cacat yang tidak turun juga hingga kini, tapi soal pengakuan eksistensi pemerintah. Itu yang belum ada sampai sekarang. Para veteran Seroja hanya berharap, perjuangan mereka di Timtim dulu dihargai. 

Kini sedikitnya terdapat 350 KK veteran Seroja yang tinggal di Kompleks Seroja Bekasi. Mereka bekerja macam-macam. Ada yang jadi sopir angkutan umum, pedagang, pekerja serabutan, dll. Semuanya itu sekadar untuk bisa melanjutkan kehidupan yang memang tak boleh berhenti. 

Bangsa yang luhur adalah bangsa yang dapat menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Dan...Indonesia, masih belum mampu melaksanakannya. 

Prosesi Pernikahan Pamong Praja Muda Darma Asta Brata - Purna Praja 19 Jati Prayogo, S.IP






Prosesi ini merupakan tradisi Korps Praja STPDN/IPDN dalam mengantar sekaligus memberikan penghormatan kepada purna praja yang akan melangkah memasuki lembaran kehidupan rumah tangga. Prosesi ini akan membentuk formasi Bintang Asta Brata yang merupakan symbol bagi seseorang pemimpin berjiwa pamong praja. Prosesi pernikahan praja muda Dharma Asta Brata memiliki arti bahwa prosesi ini sebagai symbol pembekalan bagi purna praja sebagai Abdi Negara dan Abdi masyarakat yang berlaku dengan jiwa Asta Brata. Dijelaskan oleh pembawa acara bahwa Asta Brata merupakan wejangan yang berisikan delapan laku, delapan perbuatan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin berjiwa pamong praja. Purna praja dituntut menyelami antara lain watak matahari yang memberikan kehidupan, watak Bulan yang menerangi, watak bintang yang menjadi pedoman arah, watak Angin yang senantiasa bergerak, watak Mendung yang berwibawa, watak Api yang memberikan semangat, watak Samudera yang berpandangan luas dan watak Bumi yang memberikan kemakmuran.Pamong praja muda kini tibalah engkau ke gerbang masa depan. Jadikanlah pengabdianmu laksana pilar yang menjadi penyangga bangsa ini. Wahai putrid pilihan, jadilah engkau laksana melati yang putih. Senantiasa tunjukkan kerelaan dan keikhlasanmu sebagai pendamping setia. Pamong praja muda selamat menempuh hidup baru dalam behtera kebahagiaan, mengemban tugas membina rumah tangga sekaligus tugas sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Bentuklah keluarga yang sakinah, didalamya engkau akan menorah sebuah sketsa kehidupan masa depan. Lahirkan putra-putri Indonesia yang membanggakan sebagai generasi penerusmu mewarisi cita-cita luhurmu mengabdi kepada masyarakat dan akan selalu berbakti kepada Nusa dan bangsa.